NESTAPA
CINTA
Sial, pagi ini aku bangun kesiangan lagi, padahal hari ini ada presentasi
makalah yang harus aku paparkan di hadapan teman-teman di kampus. Jam dinding
pun telah menunjukkan pukul 07.45 WIB, seharusnya hari ini aku masuk lebih
awal dari hari-hari biasanya. Aku langsung bergegas mandi, ya namanya sudah
telat aku tidak mungkin buang-buang waktu berlamaan di kamar mandi sambil
nyaniy-nyanyi, tapi hari ini tanpa itu semua. Selesai mandi aku segera
berpakaian dan bersiap-siap menuju kampus. Dalam hatiku sempat merasa jengkel kenapa
aku telat bangun padahal aku telah mengaktifkan jam wekker yang ada di kamarku.
Lalu aku siap menuju kampus, akupun tak sempat sarapan bersama keluargaku,
padahal adat sarapan pagi sangat selalu kami jalani, kalau begini biasanya Mama
selalu membekali sarapan untuk kubawa ke kampus karena memang aku jarang
sarapan pagi. Padahal dalam keluarga kami ada sebuah adat yang aku tidak tahu
sejak aku lahir dari mana datangnya dimana aku harus sarapan bersama keluarga
sebelum aku dan yang lainnya meninggalkan rumah setiap pagi. Kemudian sebelum berangkat
ke kantor Papaku selalu saja menyampaikan nasehat kepada kami agar kami giat
belajar dan bekerja keras seperti dirinya. Sudah sering nasehat itu-itu saja yang
kudengar di telingaku sampai-sampai aku merasa bosan dengan perkataan itu. Tapi
namanya anak kampus yang mulai tumbuh dewasa, aku tidak terlalu peduli semua
itu, aku merasa mampu membimbing diriku sendiri. Sedangkan orang tua memang
sudah menjadi tugas mereka membesarkan dan mendidik anak-anaknya hingga menjadi
anak yang dapat dibanggakan kelak.
Tanpa pamit pada mereka aku pun langsung meninggalkan rumah dan mengambil
motor usang ku di garasi yang selalu setia menemaniku kemanapun aku pergi. Ya motor
usang itu aku beri nama Joko, nama
itu yang kurasa pantas untuk motor kesayanganku. Papaku pernah berkata bahwa
motor ini dulu ia pakai saat kami masih dalam keadaan yang sangat susah.
Baginya motor ini bernilai sejarah tersendiri, dan aku menyukainya, tapi aku
tidak memperdulikan hal itu, yang jelas aku sangat tertarik dengan si joko. Papaku sempat menawari mobil mewah
seperti kakak-kakak ku, karena mereka diberi satu-satu oleh papa. Tapi aku
tidak begitu peduli dengan semua itu, aku merasa mengendarai si joko lebih asyik untuk menikmati udara
pagi dengan bebas, udara segar yang dapat memberi semangat yang besar padaku.
Di kampus tidak sedikit teman-teman yang selalu mengatakan padaku kenapa aku
tidak terima tawaran papaku itu, agar mereka bisa jalan bareng denganku. Teman
gua Dodi pernah bilang, "wah kalau gua jadi anak seorang pengusaha ternama
seperti lo Al, gua minta ama bokap mobil keluaran terbaru merk Ferrari gitu
loh, cewek-cewek pasti pada nempel". Tapi kata-kata itu tidak sedikitpun membuatku
terpengaruh. Aku tetap suka si Joko
motor usang kesayanganku. Tetap juga cewek-cewek bisa ku ajak jalan dengan si Joko.
Pagi itu tampak jalan raya sangat padat sekali, aku tidak tahu pasti apa
penyebabnya, padahal di hari-hari sebelumnya jalan raya tampak lengang dan aku bersama
Joko bebas berlalu lalang dengan
leluasa. Banyak kendaraan yang terperangkap oleh macet. Sempat aku berfikir
apakah mereka juga telat bangun sepertiku.ha...ha...ha...tapi aku mulai menepis
apa yang ada difikiranku saat itu, yang seharusnya aku ingat adalah presentase
yang akan aku paparkan pagi ini. Sial ! dalam hati aku kembali bergumam bahwa
hari ini aku memulai sandiwara lagi. Karena hari-hariku penuh dengan sandiwara,
mulai aku bangun hingga aku tidur kembali. Aku terus mengamati sekeliling jalan
raya yang macet, aku melihat ada seorang
bapak tengah baya sedang mengendarai motor yang sedang mengantar anaknya
bersekolah serta istrinya ke pasar ramai, aku tidak tahu apakah ia merasa
ikhlas mengantar anak dan istrinya sama seperti yang aku lakukan, ya seperti
sandiwara. Bisa saja ia takut dengan istrinya. ”Ah dasar fikiran ngaco!”,
sergahku. Di sisi lain aku juga melihat ada seorang petugas polisi yang tampak
tergesa-gesa, dalam benakku mungkin ia ada apel pagi hari ini atau ia malah
cepat-cepat menuju lampu merah terdekat untuk menilang para pelanggar pengguna
jalan raya sekalian mencari uang masuk baginya. Sebagian polisi yang berada di
kota tempat kutinggal acapkali bersikap seperti itu. Aku berfikir bahwa apa
yang mereka lakukan adalah tugas mereka sebagai aparat keamanan atau tugas
tambahan yang mereka buat sendiri demi meraih keuntungan pribadi. Terkadang hal
ini membuatku tertawa sendiri saat melihat mereka di jalan raya. Tanpa sengaja
aku melihat seorang bapak yang hendak mengantar anaknya ke sekolah serta
mengantar sang isteri ke pasar. Saat mereka ditilang oleh petugas polisi yang sedang
mengatur lalu lintas tepat di pinggir lampu merah, memang isteri dan anaknya tidak
mengenakan helm kecuali si Bapak karena ia sebagai pengendara motornya, mungkin
setelah mengantar keduanya ia akan langsung berangkat bekerja. Dengan wajah
yang tampak tegas polisi tersebut memberi hormat.
" Selamat pagi Pak!"
" Pagi”. Jawab sang Bapak
"Bapak telah melanggar peraturan, jadi terpaksa Bapak saya
tilang"
"Dengan terpaksa si Bapak pun meminggir"
Aku melihat dari kejauhan terjadi negosiasi diantara keduanya, aku pun
tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan, yang aku lihat sangat jelas sang Bapak
merogoh koceknya dengan mengeluarkan uang pecahan Rp.20.000,-, kemudian ia
diizinkan berlalu bersama anak dan isterinya. Ha..ha..ha..lagi-lagi sandiwara
itu mulai dimainkan oleh polisi tadi. Tapi aku yakin tidak semua aparat
kepolisian memiliki mental seperti itu, ada juga petugas yang ramah atau ia
tidak mengambil atau meminta yang bukan menjadi haknya. Inilah mental polisi
yang pantas kita acungi jempol dan berhak mendapatkan penghargaan dari Negara
atas baktinya pada masyarakat.
Akhirnya aku sampai juga di kampusku tercinta, sebuah kampus dimana aku
akan mempresentasikan makalahku pagi ini. Aku memang telat beberapa waktu,
agaknya aku harus kelihatan benar-benar sibuk agar teman-temanku mengira bahwa
aku benar-benar telah menguasai makalah itu. Padahal ini adalah sandiwara yang
telah aku rancang sebelumnya setiap kali ada presentasi makalah. Aku pun bergegas
masuk kedalam kelas dan duduk tepat di samping Dodi, anak laki-laki yang lebih tinggi dariku dan anak seorang pengusaha
batik ternama di Solo. Aku tidak tahu mengapa ia bisa sampai ke tempat ini dan menjadi
teman sekampusku, yang jelas dalam pergaulan ia anak yang baik. Lalu ia pun menyapaku
menyentak.
"Gimana Al makalah lo, udah
ready kan?"
Dengan berpura-pura kelihatan sibuk aku pun membuka tas dan mencari dimana
makalahku.
”Oh sudah Dod, emang kenapa?”,
tanyaku kembali
”Gua kira lo belum selesai, Al”
"Ya sudah lah, secara Aldie
gitu loh…..!
Tak lama dosen yang kami tunggupun datang dan menuju kelas, untungnya ia
sedikit terlambat hari ini, sehingga aku tak perlu mendengar ceramah-ceramahnya
yang sangat membosankan sama seperti ceramah yang selalu di sampaikan orang
tuaku setiap pagi. Ia masuk lalu duduk dan memanggil namaku untuk mempresentasikan
makalah. Dengan wajah yang sangat serius aku pun maju ke depan dan memaparkan
semua yang ada dalam makalah itu dengan singkat dan tepat. Setelah itu sebelum
di ambil alih oleh dosen, langsung saja aku persilahkan teman-temanku untuk
mengajukan pertanyaan seputar pemaparanku tadi. Kali ini ada tiga orang yang akan
bertanya yaitu Selvi, Andi dan Dodi. Syukurnya ketiga pertanyaan itu dapat aku
jawab dengan mulus serta aku sebutkan beberapa pengarang buku terkenal agar
mereka yakin kalau aku banyak mengetahui tentang apa yang mereka tanyakan.
Akhirnya teman-teman dalam sekelas memberiku applause yang sangat meriah karena
mereka puas dengan apa yang telah aku sampaikan. Dari hatiku yang paling dalam
aku sembari tersenyum, ternyata aku mampu memainkan sandiwara ini dengan baik. Pelajaran
pun selesai, Dosen segera meninggalkan kelas kami sambil berkata, "Aldie kamu akan saya beri nilai A karena
makalah kamu sangat bagus dan menarik".
Keadaan ini sering aku dapatkan dari
setiap apa yang aku lakukan hingga membuat teman-temanku yang lainnya merasa
iri padaku, apalagi beberapa dosen sering mengatakan seperti itu di depan
kelas. Kebiasaan dalam kehidupan anak kampus kami seringkali nongkrong bareng
teman-teman di kantin yang berada di belakang kampus, sekalian mengamati
cewek-cewek yang berlalu lalang keluar masuk kantin. Saat itu Dodi, teman sekelasku itu selalu
memanggil beberapa cewek yang ia kenal dan kemudian mengenalkannya
padaku. Sungguh aku tak mampu menolak atas perkenalan pada cewek-cewek yang dikenalkan
Dodi, ya mumpung rezeki kenapa mesti
kutolak, kali-kali aja diantara mereka ada yang dapat aku ajak jalan, walau
hati kecil terkadang menolak untuk menerima perkenalan itu. Ini semua
dikarenakan Dodi selalu saja
mengatakan padaku, "Buat apa wajah tampan, anak seorang pengusaha terkenal
kalau tidak bisa menaklukkan yang namanya wanita, ha..ha...”. ”Ya Dod
tapi sekali-sekali lo kenalkan juga tuh si Rizal
dengan cewek-cewek teman
lo itu, biar ia tidak ngerasa
minder sama teman yang lain, ayahnya juga kan seorang pengusaha sepatu terkenal
di Surabaya”. Liburan kampus ke Bali tahun lalu kami sekelas sempat singgah di rumahnya Rizal. Rizal sudah lama
ku anggap sebagai sahabat dekatku. Dalam hidup percintaannya ia tidak pernah
gonta-ganti pacar apalagi selingkuh alias setia. Tidak seperti aku dan Dodi yang
sibuk ngapalin nama cewek-cewek setiap malam minggu untuk diapelin. Rizal memang benar-benar setia pada Selvi, nama pacarnya itu, seorang gadis
asli Bojonegoro yang cantik dan berkulit putih, sungguh menawan laksana seperti
putri seorang Raja. Bahkan sekarang Rizal
telah bertunangan dengan Selvi,
anak seorang Direktur sebuah Bank Swasta di Surabaya. Dalam waktu dekat setelah
habis masa persidangan kuliah, mereka akan segera melangsungkan pernikahan.
Biginilah hari-hariku di kampus yang penuh dengan sandiwara, bahkan dalam percintaan
pun aku juga harus bersandiwara. Karena bukan hanya satu wanita yang aku ajak kencan, dalam satu minggu saja aku bisa ngecengin enam
bahkan tujuh cewek. Wanita laksana baju yang selalu aku ganti dalam
mengenakannya. Bila aku bosan dengan mereka dengan mudah aku mendapatkan
penggantinya. Inilah aku yang telah dicap sebagai seorang Playboy oleh teman-temanku. Sebenarnya aku benci dibilang Playboy, tapi aku hanya bungkam atas apa
yang mereka katakan, karena sesungguhnya aku memang Playboy. Kalau saja aku bisa memilih, dalam hidupku. sebagai
seorang lelaki aku juga mempunyai kriteria wanita yang aku idam-idamkan dalam
hidupku, yaitu wanita yang punya karakter kuat dan tidak memandangku bahwa aku
anak seorang konglomerat. Hari-hari pun terus berganti, hari-hari bersama
cewek-cewek yang telah aku pacari, bahkan sama sekali tidak seorangpun yang
kucinta, yang ada hanya untuk kesenangan semu belaka. Aku bosan dengan keadaan
ini dan sandiwara cinta yang ku lakoni selama ini dan permainan yang kubuat
sendiri. ”Aku bosan Tuhan, tunjukilah jalan-Mu padaku, jalan yang terbaik
dari-Mu”, rintihku dalam hati.
Suatu ketika tanpa sepengetahuan ku,
Papaku membelikan aku sebuah mobil mewah bermerk Porsche, yang ia hadiahkan di saat ulang tahunku
tepatnya ketika aku berumur 24 tahun, padahal selama ini ia tidak pernah
memberiku hadiah semahal itu setiap aku berulang tahun. Hanya saja Papaku
sering mengajakku bersama Mama dan kakakku berkeliling Eropa saat musim semi di
sana. Sebagai anak bungsu aku merasa bahagia karena memiliki orang tua yang
sebaik Mama dan Papaku serta kakak-kakakku yang menyayangiku. Dan itulah yang
membuat aku makin mencintai mereka. Mobil yang ia belikan untukku adalah mobil
yang sudah lama aku idam-idamkan selama ini. Hal ini pastilah sangat
membahagiakan diriku. Mobil itu langsung saja aku coba dan mengendarainya untuk
yang pertama kali, karena kali ini aku tidak mau Papaku merasa kecewa. Dengan
berat hati terpaksa aku tinggalkan si Joko, motor kesayanganku yang selama ini
selalu setia menemaniku ke mana saja di garasi rumahku. Ia terlihat seperti
barang rongsokan di tengah mesin-mesin modern yang super cepat lajunya. Tapi
aku tidak membuangnya bahkan menjualnya. Aku menyimpannya sebagai kenangan.
Namun apa yang terjadi selanjutnya, dengan mobil itu pula makin banyak cewek-cewek
yang naksir berat malah sampai mereka sendiri yang datang kepadaku untuk diajak
jalan bersama. Mereka layaknya seperti perangko yang selalu menempel pada
suratnya yaitu aku. Tak dapat aku pungkiri derajatku semakin tinggi dalam
pandangan mereka. Wajah ok, penampilan ok, anak orang kaya dan bermobil mewah,
rasanya sudah lengkap hidupku ini. Aku terus saja menghamburkan uang bersama
cewek-cewek yang tak jelas ujung dan pangkal kemauannya. Dalam hidup ini
sebenarnya aku memiliki ambisi yang sangat besar serta cita-cita yang sangat
tinggi. Sebuah ambisi dimana kebahagiaan akan kuraih dalam hidupku dan
cita-cita yang telah aku tanam dalam sanubariku ketika aku mulai duduk di
bangku perkuliahan. Saat ini aku benar-benar merasa bosan dengan kehidupanku yang
penuh warna kebohongan dan panggung sandiwara. Betapa aku sangat menginginkan
ada sesuatu yang dapat merubah kembali kehidupanku menjadi lebih baik dan benar
di masa yang akan datang. “Ya nanti pasti waktu itu akan tiba“, bathinku
berkata.
Selasa itu, aku masih mengingatnya, hari yang benar-benar merubah hidupku. Waktu
itu Porsche yang aku kendarai tiba-tiba menabrak seorang wanita di jalan raya. Saat
itu aku lagi sendirian di mobil. Aku tidak menggunakan jasa sopir, padahal
Papaku telah menyiapkan seorang sopir yang akan menemaniku. Ia khawatir jika
terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Aku mendengar wanita itu menjerit, aku
lihat ia terjatuh hingga terhempas lalu terbaring tepat di depan roda mobilku.
Aku sempat memandang disekelilingku, sepi. Aku pun segera melaju meninggalkan
wanita itu sendirian. Saat aku lewati tubuhnya yang terkapar sampai tak
sadarkan diri, aku sempat melihat wajahnya sekilas, ada sesuatu yang mengusik
benakku, aku terlonjak kaget. Tiba-tiba saja kakiku menginjak keras pedal rem mobilku, hingga
mobilku mendadak berhenti. Aku memutar haluan mobilku kembali, segera aku
keluar dan mengangkat tubuhnya dan meletakkan di kursi belakang mobilku dan langsung
aku larikan ke rumah sakit terdekat. Jantungku berdebar kencang, aku berharap
tidak terjadi apa-apa pada dirinya. Kala itu aku duduk di koridor rumah sakit.
Aku termenung sesaat ketika melihat ia terbaring belum sadarkan diri.
”Oh...Tuhan selamatkan dia”.., Do’aku mengiba. ”Apa yang telah aku lakukan!!”,
bentak batinku. ”Aku merasa kasihan padanya”, jeritku dalam hati. Ku pandangi
gadis berjilbab motif mozaik turki yang ia kenakan. Jilbab itu masih menutup
rambutnya. Aku melarang perawat untuk membukanya. ”Biarkan saja suster, biarkan
jilbab itu terus melekat”. Dalam hatiku aku sadar ia pastilah seorang yang taat
agamanya dan sangat menghargai jilbab dan auratnya. Tadi Dokter sempat
memberitahukan padaku bahwa ia tidak mengalami luka yang serius, ia hanya
mengalami kejutan pada jantungnya.
Dua hari aku berada di rumah sakit, berarti dua hari aku absent di kampus
dan dua hari aku tak pulang ke rumah. Ini pasti tidak masuk akal. Sudah dua
hari ini aku bersama-sama keluarga gadis itu, ya gadis itu bernama Ainy. Dua hari ini juga ia belum siuman.
Kulihat wajah ibunya yang sangat terpukul dan sedih, aku tahu kemarin malam ia
tidak tidur menunggu anaknya yang terbaring, ia sempat melaksanakan shalat
tahajjud memohon kesembuhan anaknya. Oh, hatiku menjerit, tak mampu aku menahan
air mataku yang mulai tumpah. Kini aku hanya dapat melihat. Aku juga ingin
bertahajjud bersama ibunya, tapi aku merasa malu, karena aku tak pernah
melakukannya. Siang itu aku diajak sholat dzuhur berjamaah oleh adiknya yang
laki-laki., Bahrum namanya, ia baru
berusia 7 tahun, adiknya sempat bercerita mengenai kehidupan mereka, ternyata Ainy dan Adiknya sudah lama ditinggal
ayahnya kira-kira 6 tahun yang lalu. ”Sholat!”, aku kaget. Sudah lama sekali aku
tidak pernah melakukan sholat, tapi hati kecilku terhenyak bagai hipnotis yang
mempengaruhiku, ku ikuti langkah kecilnya menuju musholla rumah sakit.
Tiba-tiba ia berbelok ke kanan menuju kamar mandi. ”Mau kemana?”, tanyaku
pelan, “mau berwudhu mas”, jawabnya ringan. “Oh iya”, balasku lirih. Aku baru
ingat jika sholat itu wajib berwudhu’. Hari itu aku sholat dzhuhur berjamaah
bersama adiknya Ainy, sudah sekian
lama aku tidak pernah menunaikan sholat, aku merasa hari ini seperti pertama
kali kalinya aku sholat. Selesai sholat kami pun bergegas keluar dari Musholla.
”Mas, sudah berdo’a untuk kakak?”, tanya Bahrum.
”Su...Sudah....”, jawabku berbohong. Ia tersenyum di hadapanku. Tak kusadari
hatiku berkata, ”Ya Allah, Siapa pun Engkau, Yang bisa menjawab do’a, kabulkan
do’aku, sadarkanlah Ainy ya Tuhan dari tidurnya, aku mohon pada-Mu”.
Hanya berselang 5 menit dari saat berdo’a, Bahrum tiba-tiba memanggilku, “Mas, Kak Ainy sudah siuman”. ”Oh iya, Alhamdulillah ya Allah, Engkau
mengabulkan do’aku”, jawabnya bahagia. Aku langsung bergegas masuk ke ruangan inap
Ainy. Sungguh aneh perasaan ini,
betapa aku merasakan kebahagiaan yang tak dapat aku lukiskan dalam hatiku.
Sesaat ibunya berkata, ”Nak Aldie inilah
orang yang telah membawamu ke rumah sakit, dia yang telah menyelamatkanmu Ainy dan menanggung semua perawatan dan
pengobatanmu”. Terima kasih mas Aldie”,
ucap Ainy pelan. ”Iya, mudah-mudahan
kamu segera sembuh”, jawabku tunduk. Aku tertunduk merasa bersalah pada Ainy dan keluarganya, karena aku telah
berbohong pada mereka. Bibirku kelu hingga aku tak dapat berkata bahwa akulah
orang yang telah menabraknya hari itu. Aku terpaksa mengaku sebagai
penolongnya, ”dasar biadab”, teriakku dalam hati. Sungguh aku benar-benar seorang
yang nista, tak berani jujur pada kenyataan yang sebenarnya.
Empat hari sudah waktu berlalu, selama itu aku terus saja menemani Ainy dan keluarganya hingga membuatku
lupa akan segalanya, rumah, kampus, bahkan kehidupan playboyku. Aku merasa bahagia bila berada di samping Ainy, sungguh aku tidak ingin melihatnya
bersedih. Rasanya aku tak tega melihatnya terbujur sakit bahkan terluka.
”Perasaan apa ini ya Allah?”, tanyaku dalam hati. Rumahku sekarang adalah rumah
sakit tempat dimana Ainy dirawat. Belum
juga aku pulang ke rumah mewahku. Ya pastilah kedua orang tuaku mengkhawatirkan
aku, karena sejak empat hari yang lalu HP-ku ketinggalan di rumah. Tadi malam
aku ketiduran di Musholla. Aku bermimpi, aku melihat wajah ayunya sangat lama. Ainy gadis muslimah berjilbab emas,
meskipun aku melihatnya dari kejauhan. Wajahnya tampak berseri dan memberiku
kedamaian. Mungkinkah aku mencintainya? tapi aku sangat merasakannya, ya rasa
itu kini hadir dihatiku. Inikah yang disebut perasaan yang dapat dielakkan.
Terbesit kata dalam hatiku bahwa aku akan lakukan apa saja untuk membuatnya
bahagia. Kini aku harus jujur kepada Ainy bahwa akulah yang telah menabraknya.
Hari kelima, Ainy memanggilku. Hanya ada aku dan dia dalam ruangan inap itu.
Bahrum dan ibunya
belum datang. Sesaat ia tersenyum dihadapanku, aku tertunduk beku,
kesombonganku terasa hancur berkeping saat melihat keteduhan wajahnya, aku
sempat gugup dan hanya berkata terbata, tak kusangka ada selaput air yang
bercokol di pelupuk mataku. Ya seorang playboy
seperti aku ini berdiri kaku tak berdaya seperti anak kehilangan induknya di
depan Ainy. “Duduklah Mas“, pinta Ainy tiba-tiba. Aku langsung duduk tak
jauh darinya. Kakiku merasa keram seperti lumpuh dan badan sedikit bergetar,
dan dia mulai bicara, “Ainy ingin berterima kasih sama mas Aldie karena telah menyelamatkan nyawa Ainy“. Sejurus aku terdiam atas penuturan Ainy. Aku makin membisu, kini aku pasrah dan takluk di hadapannya. “Sekarang
ini Ainy ingin pulang Mas, Ainy sudah tidak tahan bertarung melawan
penyakit ini, sampaikan salam Ainy
pada Ibu dan Bahrum“. Aku tersentak atas ucapan Ainy. Kemudian ia mengucapkan kalimat tauhid di hadapanku, lalu memejamkan mata. Aku membangunkannya,
namun ia tidak juga bangun, berkali-kali aku terus memanggilnya, tak juga ia
menjawab. Suasana pun lengang seperti alam syahdu, jernih tapi sangat
membingungkan. Aku diam, wajahku pucat pasi, perasaanku sedih, marah, tak rela,
panik dan aku ingin sekali menjerit dan menangis sekuat-kuatnya. Segera aku memanggil
Dokter jaga saat itu. “Tolong Dokter, tolong selamatkan ia Dok, aku mohon!“,
pintaku mengiba. “sabar....sabar mas, akan saya usahakan dan saya minta Anda
keluar sebentar“, jawab Dokter singkat. Tak lama Dokter keluar dari ruangan dan
lalu berkata, “Maaf, jiwanya tidak tertolong, ia sudah tiada“. Aku menjerit di
ruangan itu sendiri, ku lihat Ibu dan Bahrum belum juga datang. Aku sempat
meminta pada petugas rumah sakit untuk menelepon keluarga Ainy. Aku menangis histeris, hingga air mataku menetes di kain
selimut Ainy. Padahal aku belum pernah
menangis seperti ini. “Ya Allah, sungguh aku mencintainya, tapi kini ia telah
Kau ambil kembali“, jerit bathinku. Sementara Ibu dan Bahrum baru saja tiba dan
tangisan pun memecah kesunyian ruangan dimana jasad Ainy terbujur kaku. Tapi ia terlihat senyum dengan damai.
“Ya Allah.........Ya Tuhan, Siapa pun Engkau, Yang bisa menjawab do’aku, kali
ini aku bermohon untuk yang kedua kalinya, hidupkanlah Ainy kembali, jangan pisahkan aku dengannya”,
pintaku memelas. Rasanya aku ingin saja menyusul bersamanya. Air mataku terus
saja mengalir. Ku selesaikan semua urusan administrasi rumah sakit, aku
berpamit pada Ibu dan Bahrum yang masih dalam keadaan duka. Aku tahu saat itu
badanku terasa amat letih. Ku laju mobilku tanpa arah dan tujuan seakan-akan
haluan hidupku telah patah. Kini cinta yang sesungguhnya telah pergi untuk
selama-lamanya. Kemudian aku berhenti di sebuah warung di pinggir jalan,
badanku terasa remuk redam, mataku perih karena kebanyakan menangis. Pikiranku
galau, kini aku pasrah pada hidupku selanjutnya. Rasanya ingin sekali Ainy hidup kembali dan aku berkata
kepadanya bahwa aku mencintainya. Hatiku perih tak terkira. Dan tiba-tiba dunia
terasa gelap gulita...aku pingsan seketika.
Setelah beberapa bulan sejak peristiwa itu, aku menjadi semakin dekat
dengan Allah Azzawajalla, Tuhan yang
telah menghidupkan dan mematikan manusia. Di tangan-Nya lah kekuasaan hidup dan
mati setiap makhluk. Aku pun selalu melaksanakan sholat lima waktu bahkan tahajjud
di malam harinya. Aku berharap Allah akan mengampuni dosa-dosa yang telah aku
perbuat selama ini. Dalam setiap do’aku, aku selalu berdo’a buat Ainy dan keluarga. Kini aku yakin dan
berharap suatu hari nanti akan ada Ainy-Ainy yang lain yang dapat aku petik
sebagai bunga hidupku dan aku dapat menjadi pria yang lebih baik di depan semua
orang. Sejak kejadian itu, aku pun mulai menyadari yang dahulu adalah salah dan
aku sangat menghargai yang namanya wanita...
0 komentar:
Posting Komentar