meteor

This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 03 Mei 2012

Perilaku Rasulullah SAW



Pendahuluan
Nabi Muhammad saw adalah contoh teladan terbaik dan tipologi ideal paling prima. Hal ini digambarkan oleh al-Qur’an surat Al-Ahzab, 33: 21 yang berbunyi:
(Sesunggunya pada diri Rasulullah saw. terdapat contoh tauladan bagi mereka yang menggantungkan harapannya kepada Allah dan Hari Akhirat serta banyak berzikir kepada Allah).
Namun demikian, Nabi Muhammad saw. tetap saja sebagai seorang manusia seperti manusia lain yang dipimpinnya, sebagaimana ditegaskan dalam surat Al-Kahfi/18: 110:
(Katakanlah, sesungguhnya saya adalah manusia seperti kamu, yang diberi wahyu bahwa Tuhan kamu ialah Tuhan yang satu).
Ketauladanan Nabi diambil, antara lain, karena ia mampu menghadapi berbagai masalah yang dihadapi tanpa kehilangan keseimbangan, tanpa kehilangan idealisme dan tanpa surut dari sebuah missi. Itulah sebabnya Michael H. Hart, dalam bukunya “Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah Umat Manusia”, menempatkan Nabi Muhammad Saw sebagai tokoh Nomor Satu yang paling berpengaruh dalam sejarah kehidupan manusia. [1]
Sebelum diangkat sebagai nabi dan rasul, Muhammad saw memang sudah sedemikian sempurna dalam berbagai perilaku dalam kehidupannya. Terlepas dari keyakinan bahwa hal demikian memang sudah digariskan oleh Allah SWT karena sesungguhnya Beliau ma’sum (terjaga) dari segala kerusakkan dan dosa. Sejarah mencatat, saat baru terlahir Muhammad kecil sudah dido’akan dan ditawafkan dihadapan ka’bah oleh kakeknya Abdul Muthalib. Ini menandakan bahwa dari kalangan orang tuanya sangat berperan menjaga kesucian Muhammad saw. Terlebih lagi setelah itu Muhammad disusukan kepada orang yang benar-benar terseleksi, benar-benar tidak terkontaminasi oleh pola kehidupan tidak sehat. Setelah disusukan oleh Suaibah Al-Aslamiyah, Muhammad kemudian disusukan oleh Halimatussa’diyah dan dibawa tinggal bersama di pemukiman yang jauh dari keramaian kota, jauh dari hiruk pikuk dan kebiasaan jahiliyah para penduduk kota.
Masa kakak-kanak Muhammad dilalui dengan menggembalakan kambing, beliau sudah menampakkan sikap terpuji – dapat dipercaya – mengurus hewan peliharaan orang lain. Di saat-saat menggembalakan kambing inilah terjadi proses penyucian diri Muhammad dari berbagai sifat-sifat buruk, peristiwa tersebut dikenal dengan “pembelahan dada”. Walau masih terdapat perbedaan pendapat tentang teknis yang pasti tentang pembelahan dada, yang terpenting dari peristiwa itu adalah tampilnya seorang Muhammad yang penuh dengan sifat-sifat terpuji seperti jujur, amanah dan sebagainya.
Walaupun Muhammad terlahir dalam status yatim setelah ditinggal wafat Ayahandanya Abdullah ketika beliau masih dalam kandungan, ditambah pada usianya yang ke-6 menjadi yatim dan piatu pula karena ditinggal Ibundanya Siti Aminah. Dua tahun kemudian ditinggal pula oleh kakeknya Abdul Muthalib. Kesedihan yang bertubi-tubi itu tidak mengikis semua keteladanan yang ada pada diri beliau, malah semua itu laksana kawah candra dimuka yang makin mengkokohkan pribadi beliau. Ini terlihat ketika terjadi perselisihan antara para kabilah suku Quraisy, akhirnya melatarbelakangi penganugerahan gelar Al-Amin kepada beliau. Ketika ka’bah harus direnovasi akibat diterjang banjir para kabilah mempercayakan kepada beliau untuk memindahkan hajarul aswad. Di saat penduduk Makkah terperangkap dalam sebuah pertengkaran tentang kabilah mana yang harus mendapat kehormatan mengangkat dan menempatkan kembali batu tersebut di tempatnya semula. Ketika persoalan ini sudah berjalan lima hari dan hampir menyebabkan pecahnya perang antar-suku, Muhammad datang dengan solusinya yang sudah sangat terkenal itu. Ia meletakkan batu hitam di atas selendang dengan empat sisi dan mengajak semua ketua suku mengangkatnya bersama-sama, lalu meletakkannya di tempat semula. Gelar Al-Amin tersebut, beliau dapat jauh sebelum beliau di angkat menjadi nabi dan rasul. Al-Amin artinya orang yang dapat dipercaya.
Keteladanan Rasulullah
Berdasarkan Al-Qur’an surat Al-Ahzab, 33 : 21 setiap muslim atau muslimah yang ingin memperoleh rahmat Allah, bahagia dunia dan akhirat harus menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai suri teladan. Keteladanan beliau secara garis besar dapat dibagi antara lain menjadi keteladanan dalam hidup berumah tangga, keteladanan sebagai pemimpin umat dan keteladanan sebagai pribadi muslim.
I. Keteladanan dalam Hidup Berumahtangga
Sebagai kepala rumah tangga nabi Muhammad saw patut diteladani. Beliau senantiasa berusaha agar rumahtangganya menjadi rumah tangga yang memperoleh ridha Allah SWT. Untuk itu beliau selalu berusaha bersama isterinya Siti Khadijah, agar mereka berdua bisa mewujudkan dan membina rasa saling cinta mencintai, sayang menyayangi, hormat menghormati, saling menjaga nama baik dan tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan.
Baliau juga telah memelihara, mengasuh dan mendidik anak-anaknya dengan penuh tanggung jawab serta kasih sayang sehingga anak-anaknya senantiasa beriman dan bertakwa, serta hidupnya berguna dan berbahagia.
II. Keteladanan Sebagai Pemimpin Umat
Banyak yang harus diteladani dari Nabi Muhammad saw dalam hal memimpin umat, antara lain :
- Nabi Muhammad saw senantiasa menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada orang-orang yang dipimpinnya.
- Nabi Muhammad saw selalu berusaha agar persaudaraan sesama umat Islam (ukhuwah Islamiyah) terwujud.
- Nabi Muhammad saw sering bermusyawarah dengan para sahabat.
- Berusaha mengikis pengaruh kebendaan dari diri kaum muslimin.
- Nabi Muhammad saw adalah pemimpin yang konsekwen, teguh pendirian dalam menegakkan kebenaran dan keadilan.
III. Keteladanan Sebagai Pribadi Muslim
Sebagai pribadi muslim banyak yang harus diteladani dari Nabi Muhammad saw. Nabi Muhammad saw senantiasa berusaha memelihara dan meningkatkan kesehatan, kebersihan dan keindahan tubuhnya secara islami. Dalam hubungannya dengan sesama manusia Nabi Muhammad saw senantiasa membiasakan diri dengan akhlak terpuji dan menjauhkan diri dari akhlak tercela serta giat beramal shaleh yang bermanfaat bagi orang banyak. Bahkan Allah SWT telah memujinya dengan sebuah firman : Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung. (QS. Al-Qalam, :4)
Nabi Muhammad saw adalah seorang pribadi muslim yang memiliki rasa kasih sayang yang tinggi, khususnya terhadap anak-anak yatim, para fakir miskin dan orang-orang terlantar. Kasih sayang Nabi Muhammad saw bukan saja terhadap sesama manusia, bahkan terhadap binatang. Rasulullah saw bersabda: “Apabila kalian mengendarai binatang, berikanlah haknya dan janganlah menjadi setan-setan terhadapnya.” “seorang wanita dimasukkan Tuhan ke neraka dikarenakan ia mengurung seekor kucing, tidak diberinya makan, dan juga tidak dilepaskan untuk mencari makan sendiri.”
Dalam kesempatan lain beliau bersabda: “Seseorang yang bergelimang di dalam dosa diampuni Tuhan, karena memberi minum seekor anjing yang kehausan.”
Terhadap alam dan lingkungan, Rasulullah SAW menganjurkan kepada umatnya agar melakukan usaha-usaha untuk mengambil manfaatnya, dan melestarikannya, serta jangan sekali-kali melakukan pengrusakan.
Suatu hari pemimpin kafir quraisy membuat sayembara untuk mendapatkan Muhammad baik dalam keadaan hidup ataupun mati dengan imbalan seratus ekor unta. Pada saat tersebut muncul seorang kontestan sayembara bernama Da’tsur. Ketika Muhammad melakukan perjalanan, rupanya Da’tsur mengintai dari kejauhan. Karena terlihat Muhammad berhenti untuk istirahat dan berteduh di bawah rindang pohon sambil mengeringkan pakaiannya yang basah dengan peluh, maka tiba-tiba Da’tsur menghampiri Muhammad dengan menghunuskan sebilah pedang seraya berkata “Man yamna’uka minnî ya Muhammad? Siapa yang akan menghalangi (tajamnya pedang ini) dariku wahai Muhammad? nabi Muhammad dengan tenang menjawab “Allah”. Seketika itu pedang Da’tsur tejatuh dan dia dalam ketidakberdayaan lalu diambillah pedang tersebut oleh Muhammad. “Wal ân man yamna’uka minî yâ Da’tsur ?” Dan sekarang siapa yang akan menghalangi (tajamnya pedang ini) dari Wahai Da’tsur. Muhammad mengarahkan mata pedang kepada Da’tsur. Dengan wajah ketakutan Da’tsur mejawab “Lâ ahad yâ muhammad” “Tidak ada wahai Muhammad”. Kemudian Da’tsur memohon maaf kepada Muhammad untuk dibebaskan. Permohonan itupun dikabulkan Nabi.
Ketika nabi bersama umatnya berhijrah ke Thaif, sambutan yang diterima jauh dari menyenagkan hati, malah bukan main menyakitkan perlakuan penduduk Thaif kepada Nabi, mereka melempari Nabi dengan kotoran. Pada saat itu datanglah Malaikat Jibril menawarkan jasa. “Hai muhammad jika engkau kehendaki gunung yang ada dihadapanmu ini untuk aku timpahkan kepada penduduk Thaif, niscaya sekarang juga aku lakukan.” Nabi menjawab “Jangan Jibril, semua itu dilakukan mereka karena ketidaktahuan mereka” kemudia nabi berdo’a “allâhumahdî qaumî fainnahû lâ ya’lamûn” “Ya Allah berikanlah hidayah kepada kaumku sesungguhnya mereka tidak mengetahui”
Kedua cerita di atas menunjukkan sikap pema’af nabi yang begitu luar biasa besarnya, orang yang jelas-jelas akan membunuhnya beliau bebaskan tanpa syarat. Orang-orang yang jelas-jelas telah menghina dan menyakitinya beliau selamatkan dari azab yang ditawarkan oleh malaikat. Subhânallâh. Begitu banyak perilaku rasulullah lainnya yang patut kita teladani sebagai pribadi muslim. Sekretaris MUI Sumatera Utara DR. H. Hasan Bakti Nasution, MA, mengungkapkan beberapa prilaku Rasulullah dengan istilah “strategi” bila nabi menghadapi krisis, antara lain sebagai berikut :
a. Dakwah bilhal.
Strategi lain yang dilaksanakan Nabi Muhammad Saw ialah dengan memberikan contoh praktis, yang disebut dengan dakwah bil-hal. Kepribadian dan akar sosiologisnya yang kuat menempa Muhammad menjadi seorang pemimpin yang dengan senang hati berpartisipasi dalam melaksanakan segala urusan. Ia benar-benar memimpin, bukan hanya memerintah. Pengalaman telah membuatnya tidak sungkan untuk melakukan apa pun yang perlu dilakukan. Sejarah mencatat bahwa Muhammad menanggung derita seperti derita yang dialami oleh pendukungnya dalam menyebarkan Islam. Sejarah juga melaporkan bahwa ia bersama-sama pengikutnya turun langsung dalam peperangan, merasakan pahit getir dan pedihnya terkena tikaman pedang dan tombak musuh. Di balik kebesarannya yang tanpa tanding, Muhammad adalah seorang yang dengan senang hati mengerjakan perkerjaan kecil (seperti memperbaiki sandal atau menambal baju) yang tak terbayangkan dikerjakan oleh kebanyakan pemimpin masa sekarang. Ia memimpin tidak hanya dengan memberitahu apa yang harus dilakukan, tetapi menunjukkan dan melakukannya bersama-sama mereka yang dipimpinnya.
b. Memulai dari diri sendiri.
Strategi mengatasi krisis yang paling ampuh ialah selalui memulai dari diri sendiri. Prinsip ini tertuang dalam hadits singkat:
(mulailah dari diri sendiri).
Strategi mengatasi krisis model ini cukup berhasil tidak terlepas dari beberapa faktor.
Pertama, kualitas moral-personal yang prima, yang dapat disederhanakan menjadi empat, yakni: siddiq, amanah, tabligh, dan fahtanah: jujur, dapat dipercaya, menyampaikan apa adanya, dan cerdas. Keempat sifat ini membentuk dasar keyakinan umat Islam tentang kepribadian Rasul saw. Kehidupan Muhammad sejak awal hingga akhir memang senantiasa dihiasi oleh sifat-sifat mulia ini. Bahkan sebelum diangkat menjadi Rasul, ia telah memperoleh gelar al-Amin (yang sangat dipercaya) dari masyarakat pagan Makkah. Pentingnya kualitas moral yang prima ini kembali ia tekankan setelah menjadi utusan Tuhan dalam haditsnya:
Dari Abu Hurairah, Rasul saw. bersabda: Sesungguhnya aku diutus guna menyempurnakan kebaikan akhlak. (H.R. Ahmad, 8595).
Kedua, Integritas. Integritas juga menjadi bagian penting dari kepribadian Rasul Saw. yang telah membuatnya berhasil dalam mencapai tujuan risalahnya. Integritas personalnya sedemikian kuat sehingga tak ada yang bisa mengalihkannya dari apapun yang menjadi tujuannya. Ketika dakwahnya sudah mulai dianggap sebagai gangguan serius oleh masyarakat Makkah, para pemukanya mencoba membujuk Muhammad untuk berhenti. Namun ia dengan tegas menolak setiap bujukan tersebut. Puncaknya adalah ketika kepadanya ditawarkan kedudukan yang tinggi dalam sistem masyarakat Makkah serta sejumlah besar kekayaan material. Pada lazimnya kedua tawaran tersebut akan membuat orang goyah pendiriannya. Tetapi tidak demikian halnya dengan Rasul saw. Dengan sangat tegas namun tetap santun ia menjawab: Kalaupun mereka bisa meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, aku tetap tak akan bersedia menghentikan dakwah Islam. Tidak ada yang dapat dipikirkan oleh para pembesar Makkah lagi untuk membobol benteng integritas Muhammad, dan karena itu mereka pun lalu beralih pada jalan kekerasan. Namun cara ini pun dihadapinya dengan kesabaran yang berbuah keberhasilan.
Ketiga, kesamaan di depan hukum. Prinsip kesetaraan di depan hukum merupakan salah satu dasar terpenting manajemen Rasul saw. Menanggapi sebuah masyarakat yang memberlakukan hukuman potong tangan kepada pencuri dari kelas bawah, tetapi tidak menerapkannya kepada pencuri dari kalangan atas, Rasul saw. dengan tegas bersabda:
Demi Allah, kalau sekiranya Fathimah binti Muhammad mencuri, maka aku sendiri yang akan memotong tangannya. (H.R. Bukhari, 3216)
Keempat, Penerapan pola hubungan egaliter dan akrab. Salah satu fakta menarik tentang nilai-nilai manajerial kepemimpinan Rasul saw. adalah penggunaan konsep sahabat (bukan murid, staff, pembantu, anak buah, anggota, rakyat, atau hamba) untuk menggambarkan pola hubungan antara beliau sebagai pemimpin dengan orang-orang yang berada di bawah kepemimpinannya. Sahabat dengan jelas mengandung makna kedekatan dan keakraban serta kesetaraan. Berbeda dengan, misalnya, murid, staff, atau pengikut yang kesemuanya berkonotasi tingkatan tinggi-rendah. Sahabat lebih bermuatan kerjasama dua arah, saling melengkapi dan saling menyempurnakan. Sahabat terasa sedemikian dekat, seolah tanpa jarak. Konsep persahabatan memang benar-benar tepat menggambarkan realitas hubungan yang terbina antara Rasul saw. dengan orang-orang di sekitarnya. Inilah antara lain motivator yang telah membuat para sahabat rela mengorbankan apa saja (seperti jiwa, raga, harta, waktu) demi perjuangan Rasul saw. Sebab di dalam hati mereka merasakan bahwa cita-cita Rasul saw. adalah juga cita-cita mereka sendiri, dan keberhasilan beliau adalah juga keberhasilan mereka.
Kelima, kecakapan membaca kondisi dan merancang strategi. Keberhasilan Muhammad saw. sebagai seorang pemimpin tak lepas dari kecakapannya membaca situasi dan kondisi yang dihadapinya, serta merancang strategi yang sesuai untuk diterapkan. Model dakwah rahasia yang diterapkan selama periode Makkah kemudian dirubah menjadi model terbuka setelah di Madinah, mengikuti keadaan lapangan. Keberhasilan Rasul saw. dan para sahabatnya dalam perang Badr jelas-jelas berkaitan dengan penerapan sebuah strategi yang jitu. Demikian pun peristiwa pahit perang Uhud, adalah saksi kegagalan dalam menerapkan strategi yang sesungguhnya sudah tersusun rapi dan rinci.
Keenam, tidak mengambil kesempatan dari kedudukan. Rasul Saw. wafat tanpa meninggalkan warisan material. Sebuah riwayat malah menyatakan bahwa beliau berdoa untuk mati dan berbangkit di akhirat bersama dengan orang-orang miskin. Jabatan sebagai pemimpin bukanlah sebuah mesin untuk memperkaya diri. Sikap inilah yang membuat para sahabat rela memberikan semuanya untuk perjuangan tanpa perduli dengan kekayaannya, sebab mereka tidak pernah melihat Rasul saw. mencoba memperkaya diri. Kesederhanaan menjadi trade mark kepemimpinan Rasul saw. yang mengingatkan kita pada sebuah kisah tentang Umar ibn al-Khattab. Seseorang dari Mesir datang ke Madinah ingin bertemu dan mengadukan persoalan kepada khalifah Umar ra. Orang tersebut benar-benar terkejut ketika menjumpai sang khalifah duduk dengan santai di bawah sebatang kurma. Tak ada tanda-tanda bahwa ia adalah seorang pemimpin besar yang sangat berkuasa—ia tak berbeda dari orang-orang yang dipimpinnya.
Ketujuh, visioner–futuristic. Sejumlah hadits menunjukkan bahwa Rasul saw. adalah seorang pemimpin yang visioner, berfikir dan mereka masa depan. Meski tidak mungkin merumuskan alur argumentasi yang digunakan olehnya, tetapi banyak hadits Rasul saw. yang dimulai dengan kataakan datang suatu masa…’, lalu diikuti sebuah deskripsi berkenaan dengan persoalan tertentu. Kini, setelah sekian abad berlalu, banyak dari deskripsi hadits tersebut yang telah mulai terlihat dalam realitas nyata. Berikut adalah beberapa contoh hadits futuristik:
Akan datang satu masa ketika orang tak perduli lagi dengan cara apa ia mendapatkan harta, dengan halal atau haram. (H.R. Bukhari, 1941)
Demi Tuhan yang menguasai jiwaku, akan datang satu masa ketika seorang pembunuh tak tahu lagi kenapa ia membunuh, dan orang yang terbunuh tak tahu kenapa ia dibunuh. (H.R. Muslim, 5177)
Manusia akan mencapai suatu masa ketika suatu waktu mereka berdiri (untuk salat) dan tak menemukan seorang yang bisa menjadi imam. (H.R. Ibn Majah, 972)
Kedelapan, menjadi prototipe bagi seluruh prinsip dan ajarannya. Pribadi Rasul Saw. benar-benar mengandung cita-cita dan sekaligus proses panjang upaya pencapaian cita-cita tersebut. Beliau adalah personifikasi dari missinya. Oleh karena itu ia dengan mudah dimengerti dan dengan berhasil menggerakkan masyarakatnya untuk sama-sama berupaya keras mencapai tujuan bersama. Terkadang kita lupa bahwa kegagalan sangat mudah terjadi manakala kehidupan seorang pemimpin tidak mencerminkan cita-cita yang diikrarkannya. Sebagaimana sudah disebut di atas, Rasul saw. selalu menjadi contoh bagi apa pun yang ia anjurkan kepada orang-orang di sekitarnya.

Penutup
Selaku umat Islam, merupakan kewajiban bagi kita untuk mengikuti, mencontoh dan menteladani semua perilaku terpuji rasulullah yang lebih dikenal dengan istilah akhlakul karimah. Akhlakul karimah tersebut dapat kita temui dalam berbagai literatur baik berupa sirah nabawiyah, riwayat-riwayat sahabat beliau, maupun firman Allah yang termaktub dalam Al-Qur’an.
[1] BILA RASUL SAW MENGHADAPI KRISIS (makalah seminar), DR. H. Hasan Bakti Nasution, MA

Shame is a Muslim cultural identity





Of 'Abdullah bin Mas'ud, he said: Messenger of Allah SAW said, "Shame you to God in truth is ashamed". We said, "O Prophet of Allah, we really embarrassed, Alhamdulillah (praise be to Allah)". Rasulullah SAW said, "No, but ashamed to God in truth it is really ashamed of you keep your head and what is in it, you keep the stomach with everything in it, and you shall remember the death and destruction. Whoever wants to leave the luxuries of the world hereafter, the person who did so, he has been embarrassed by the truth that God really embarrassed. " [Tirmidhi juz 4, p. 53, no. 2575]
Humans are creatures of Allah the most perfect. Perfection is evident from dianugerahkannya sense, so people should be able to sort out between the right and vanity. Unlike the creatures of plants and animals, where the desire to dominate without reason.
Malu is a noble trait. Property that has been passed by the Prophet. Islam encourage his people to be ashamed of anymore to decorate her life. Ornament is good for the owners and the entrance to heaven.
The shame of it is a very powerful brake to control our behavior. Were it not for shame on us, of what is implied in the above hadith will actually happen. We will do whatever it wants without restraint. If it's like that, then a variety of fraud and irregularities would be carried out without the guilt.
Even possible, the various aberrations are packed in a pious and religious display. Without any shame, what is not worthy of being worthy, and what is forbidden and considered to be good. Guidance of a spectacle, and spectacle to the contrary guidance.
Important to understand that the shame here in the context of what is hated by Allah SWT is not the right things. So that in the struggle for truth and honesty must dikedepankanlah courage. Should be a shame not to demand what is due. But, he should be ashamed if you take anything that is not right, even though no one human being who knows his actions.
What a wonderful Had the Muslims memilika shame the strong, so that it becomes the guiding sense of shame towards the noble behavior. Every time a bad whispers seductively, then shall we say, "Really I am ashamed to God to do that sort of thing."
It is time for a culture of shame that should always be kept and maintained, either by individuals, groups, especially the nation. We did not realize how the cessation of catastrophe, disaster, which hit the nation is probably one of them caused by the loss of a sense of shame.
A student who knows the joy of seeking knowledge will never be shy in asking. Why be afraid and ashamed to pursue science that is being studied? Instead he will be ashamed when there are whispers to cheat or to cheat as well.
A Muslim will feel ashamed when I saw a tv show that tersuguh spectacle in the form of gossip and slander. Event maksiyat indulgence and iniquity is definitely off to a still mempuyai shame.
An official with the power to feel ashamed if misappropriate related profession. His post is a trust that must be carried. He became the official was not due to his prowess, but trust her constituents.
A woman was embarrassed mempertononkan nakedness in people who do not have rights over it. He thinks that this is a gift of Allah to be maintained by the rules outlined.
A businessman was embarrassed when delayed reward our employees. Business success is thanks to the hard work of its employees. He means nothing without the help of employees.
A ruler was embarrassed if it does not provide the best service to the people. Its power is limited by space and time. However, the eternal power of Allah SWT. His fear to God encouraged him to do justice and wise. All will be asked in the hereafter no matter how small the remaining chapters.
Is there still a sense of shame in our hearts? If we are not ashamed to make a small maksiyat then be prepared and will be caught in kemungkaran maksiyat greater.
One more thing, if shame is only based on the view of humans, then it will give birth to human beings who are being hypocritical. In front of many people, he will be kind, polite, friendly, and so forth. So do not look a lot man, he will cheat, corruption, misery of others, as well as other violent crimes.
Shame is the identity for every Muslim.
عن زيد بن طلحة بن ركانة يرفعه الى النبي ص قال: قال رسول الله ص: لكل دين خلق. و خلق الاسلام الحياء. مالك فى الموطأ
From Talha bin Zaid bin Rukanah, he said of the Prophet Muhammad, the Prophet SAW said, "For every religion there akhlaqnya, and the morality of Islam is a shame". [HR Malik, in the Muwatta ': 905]
That is, a sense of shame that should never be part and parcel of every Muslim.
Once lost his embarrassment, then lost her personality as well as a Muslim. He'll get used to sin, both overt and hidden. Hence, it is natural that the Prophet Muhammad's wrath against those who have no shame.
عن ابى مسعود قال: قال النبي ص: ان ​​مما ادرك الناس من كلام النبوة الاولى اذا لم تستح فاصنع ما شئت. البخارى
From Abu Mas'ud, he said: The Prophet SAW said, "Verily, between what is found to be those of the first words of the prophet is this: If you are not ashamed, then the Act as you will". [HR. Bukhari chapters 7, p. 100]
Yes! Please do as you please without shame so that God's wrath. And be prepared to live a life of cramped in the hereafter and the world. Let us watch and Budayakan properties kemungkaran SHY when it will do and always fighting for DARE in truth.



Budaya Malu adalah Identitas Muslim





Dari ‘Abdullah bin Mas’ud, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Malulah kalian kepada Allah dengan sebenar-benar malu”. Kami berkata, “Wahai Nabi Allah, sesungguhnya kami malu, Alhamdulillah (segala puji bagi Allah)”. Rasulullah SAW bersabda, “Bukan begitu, tetapi malu kepada Allah dengan sebenar-benar malu itu ialah kamu menjaga kepala dan apa yang ada di dalamnya, kamu menjaga perut dengan segala isinya, dan hendaklah kamu mengingat mati dan kehancuran. Barangsiapa menghendaki akhirat dengan meninggalkan kemewahan dunia, orang yang berbuat demikian, maka ia telah malu yakni kepada Allah dengan sebenar-benar malu”. [HR Tirmidzi juz 4, hal. 53, no. 2575]
Manusia merupakan makhluk Allah SWT yang paling sempurna. Kesempurnaan itu tampak dari dianugerahkannya akal, sehingga manusia seharusnya mampu memilah antara yang hak dan batil. Berbeda dengan makhluk tumbuhan dan binatang, dimana nafsu lebih mendominasi tanpa akal.
Malu merupakan sifat yang mulia. Sifat yang telah diwariskan oleh para Nabi. Islam menganjurkan umatnya agar menjadikan malu sebagai penghias hidupnya. Hiasan yang membawa kebaikan bagi pemiliknya dan menjadi jalan menuju surga.
Rasa malu memang merupakan rem yang sangat ampuh dalam mengontrol perilaku kita. Sekiranya tidak ada rasa malu pada diri kita, tentu apa yang diisyaratkan hadis di atas akan benar-benar terjadi. Kita akan melakukan apa saja yang diinginkan tanpa kekangan. Kalau sudah seperti itu, maka berbagai penyelewengan dan penyimpangan tentu akan dilakukan tanpa adanya perasaan bersalah.
Bahkan mungkin, berbagai penyimpangan dikemas dalam tampilan yang soleh dan agamis. Tanpa adanya rasa malu, apa yang tidak layak menjadi pantas, dan apa yang terlarang menjadi boleh dan dipandang baik. Tuntunan menjadi tontonan, dan sebaliknya tontonan menjadi tuntunan.
Penting untuk dipahami bahwa rasa malu disini dalam konteks apa-apa yang dibenci Allah SWT bukan dalam hal-hal yang benar. Sehingga didalam perjuangan menegakkan kebenaran dan kejujuran wajib dikedepankanlah keberanian. Tidak semestinya seorang malu untuk menuntut apa yang memang menjadi haknya. Tapi, ia seharusnya malu jika mengambil apa-apa yang bukan haknya, walaupun tidak ada seorang manusiapun yang mengetahui perbuatannya.
Alangkah indah sekiranya kaum Muslimin  memilika rasa malu yang kuat, sehingga rasa malu itu menjadi penuntun kearah perilaku yang mulia. Setiap kali bisikan-bisikan buruk menggoda, maka akan kita katakan, “Sungguh saya malu pada Allah untuk berbuat yang semacam ini.”
Sudah saatnya malu menjadi budaya yang harus selalu dijaga dan dipelihara, baik oleh individu, kelompok, terlebih bangsa ini. Kita sadari betapa tidak berhentinya petaka, bencana, yang melanda bangsa ini mungkin  salah satunya diakibatkan oleh hilangnya rasa malu.
Seorang siswa yang tahu nikmatnya mencari ilmu tidak akan pernah malu dalam bertanya. Kenapa harus takut dan malu untuk memburu ilmu yang sedang dipelajari? Sebaliknya dia akan malu ketika ada bisikan-bisikan untuk mencontek atau memberikan contekan juga.
Seorang Muslim akan merasa malu ketika melihat tontonan acara tv yang tersuguh dalam bentuk gossip dan fitnah. Acara mengumbar maksiyat dan kedurhakaan sudah pasti dimatikan bagi yang masih mempuyai rasa malu.
Seorang pejabat merasa malu jika menyelewengkan kekuasaan terkait profesinya. Jabatannya merupakan amanah yang harus diemban. Dia menjadi pejabat bukan karena kehebatannya, melainkan kepercayaan konstituen kepadanya.
Seorang wanita merasa malu mempertononkan auratnya pada orang yang tidak memiliki hak atasnya. Dia berpikir bahwa ini merupakan karunia Allah SWT yang harus dijaga sesuai aturan yang telah digariskan.
Seorang pengusaha merasa malu jika terlambat memberi upah pada karyawannya. Kesuksesan usahanya adalah berkat kerja keras para karyawannya. Tak ada artinya dia tanpa bantuan karyawan.
Seorang penguasa merasa malu jika tidak memberikan pelayanan terbaiknya kepada rakyat. Kekuasaan yang dimilikinya sangat terbatas oleh ruang dan waktu. Namun, kekuasaan Allah SWT bersifat kekal. Ketakutannya kepada Allah SWT mendorongnya untuk berbuat adil dan bijaksana. Semua akan ditanyakan di alam akherat tidak tersisa bab sekecil apapun.
Apakah masih ada rasa malu di hati kita? Jika kita tidak malu melakukan maksiyat kecil maka bersiaplah akan hanyut dalam kemungkaran dan maksiyat yang lebih besar.
Satu lagi, kalau malu hanya berpatokan pada pandangan manusia, maka hal itu akan melahirkan manusia-manusia yang bersikap munafik. Di depan banyak orang, dia akan bersikap baik, santun, ramah, dan sebagainya. Begitu tidak terlihat banyak manusia, dia akan berkhianat, korupsi, menyengsarakan orang lain, serta melakukan kejahatan kejam lainnya.
Rasa malu merupakan identitas bagi setiap Muslim.
عَنْ زَيْدِ بْنِ طَلْحَةَ بْنِ رُكَانَةَ يَرْفَعُهُ اِلىَ النَّبِيَّ ص قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: لِكُلّ دِيْنٍ خُلُقٌ. وَ خُلُقُ اْلاِسْلاَمِ َاْلحَيَاءُ. مالك فى الموطأ
Dari Zaid bin Thalhah bin Rukanah, ia mengatakannya dari Nabi SAW, Rasulullah SAW bersabda, “Bagi tiap-tiap agama itu ada akhlaqnya, dan akhlaq Islam adalah malu”. [HR Malik, di dalam Muwaththa' : 905]
Artinya, rasa malu merupakan bagian yang tak boleh terpisahkan dari diri setiap Muslim.
Begitu hilang rasa malunya, maka hilang pula kepribadiannya sebagai seorang Muslim. Ia akan terbiasa berbuat dosa, baik terang-terangan maupun  tersembunyi. Makanya, sangat wajar jika Rasulullah SAW murka terhadap orang yang tak punya rasa malu.
عَنْ اَبِى مَسْعُوْدٍ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ ص: اِنَّ مِمَّا اَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ اْلاُوْلَى اِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ. البخارى
Dari Abu Mas’ud, ia berkata : Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya diantara apa-apa yang didapati orang-orang dari perkataan para Nabi dahulu ialah : Apabila kamu sudah tidak malu, maka berbuatlah sekehendakmu”. [HR. Bukhari juz 7, hal. 100]
Betul! Silahkan berbuat sesukamu tanpa malu sehingga Allah akan murka. Dan bersiaplah untuk menjalani hidup yang sempit di akhirat dan didunia. Mari kita jaga dan budayakan sifat MALU ketika akan berbuat kemungkaran dan selalu BERANI dalam memperjuangkan kebenaran.



Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More